Tugas Makalah
Dosen : Drs. Syamsuriadi
Dosen : Drs. Syamsuriadi
Oleh
:
NAMA : KADDING
NIM :
K: 1540 5922 11
KELAS : I
PROGRAM PENGAKUAN PENGALAMAN KERJA
DAN HASIL BELAJAR (PPKHB)
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2011
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirahim
Syukur Alhamdulillah kami
panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan sebuah makalah yang berjudul Riba dan Masalahnya
dengan baik. Shalawat dan salam selalu tercurah keharibaan junjungan kita, Nabi
Besar Muhammad SAW, beserta sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman.
Dalam kesempatan ini, penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada semua pihak yang telah
banyak membantu dalam proses pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini berguna
dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Masamba, 20 Oktober 2011
Penulis
|
i
DAFTAR ISI
Halaman
Judul
Kata
Pengantar............................................................................................................ i
Daftar
Isi..................................................................................................................... ii
BAB I:
PENDAHULUAN......................................................................................... 1
A.
Latar Belakang
Masalah......................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah................................................................................... 2
C.
Tujuan Masalah....................................................................................... 2
BAB II: PEMBAHASAN........................................................................................... 3
A.
Pengertian Riba..................………………………….......................... 3
B. Hukum
Riba………………..…………………………………………... 5
C. Klasifikasi
Riba…………………………………………………..…….. 6
D. Jenis Barang Yang Masuk Dalam
Kategori Riba……………………… 9
E.
Alasan
Yang Muncul Untuk Membela Bunga (Interest) ....................... 11
F. Bank
non-Islam (Convensional Bank)
................................................... 12
G. Hukum
Bermuamalah Dengan Bank Konvensional dan Hukum
Mendirikan Bank Islam........................................................................... 13
H.
Bank Islam di Indonesia..................................................................... 14
BAB III:
PENUTUP.................................................................................................... 17
A.
Kesimpulan.............................................................................................. 17
B.
Saran........................................................................................................ 17
Daftar Pustaka.
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum
halal dan haram dalam Islam telah diatur dengan sangat jelas. Hal ini merupakan
salah satu karunia Allah dan bukti nyata atas kebenaran risalah yang dibawa Rasulullah
n . Bila tidak, mungkin akan banyak dijumpai hal-hal yang saling bertolak
belakang dalam masalah hukum dan kaidahnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Sebenarnya,
mereka telah mendustakan kebenaran tatkala kebenaran itu datang kepada mereka,
maka mereka berada dalam kadaan kacau-balau” [Qaaf : 5]
Di
antara makna kesempurnaan syari’at Islam, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah dianugerahi kemampuan mengungkapkan dengan bahasa verbal,
sederhana tetapi padat dan jelas isi kandungannya.
Sebagai
contoh mengenai kaidah umum dalam masalah perintah dan larangan; bahwa tidaklah
suatu perintah atau larangan, melainkan di dalamnya mengandung kemaslahatan dan
manfaat, baik ditinjau dari sisi agama maupun kehidupan manusia, baik di dunia
maupun di akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“(Ia)
yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari
mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan
mengharamkan bagi mereka segala yang buruk” [al A’raf : 157]
Pada
pembahasan masalah mu’amalah dan jual beli, hukum asalnya adalah boleh dan
halal. Tidak ada larangan dan tidak berstatus haram, sampai didapatkan dalil
dari syariat yang menetapkannya.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan
Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”. [al Baqarah : 275].
Sepanjang
ridha, kejujuran, keadilan melekat dalam suatu proses mu’amalah dan jual beli,
tanpa ada unsur kebatilan dan kezhaliman, bentuk transaksi itu diperbolehkan.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
1
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu”. [an
Nisa : 29].
Syariat
Islam dengan hikmah dan rahmatnya, mengharamkan apa yang membahayakan terhadap
agama dan dunia. Pembahasan kali ini berhubungan dengan riba dan masalahnya.
Ada
beberapa syarat utama untuk dapat memahami bunga dan kaitannya dengan riba,
yaitu menghindarkan diri dari kemalasan ilmiah yang cenderung pragmatis dan
mengatakan bahwa praktek pembungaan uang seperti yang dilakukan lembaga-lembaga
keuangan ciptaan Yahudi sudah sejalan dengan ruh dan semangat Islam. Tunduk dan
patuh kepada aturan Allah dan Rasulullah dalam segala aspek termasuk dimensi
ekonomi dan perbankan, seperti dalam firman Allah SWT
وَمَا
كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ
يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
Artinya;
Dan tidaklah patut bagi laki-laki
yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan
Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang
lain) tentang urusan mereka. (al-Ahzab : 36).
B.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan riba dan
masalahnya
2. Mengidentifikasi riba dan masalahnya
3. Menghidarkan diri dari sikap riba
dan masalahnya.
C.
Tujuan Masalah
1. Memahami apa yang dimaksud dengan
riba dan masalahnya
2. Mampu mengidentifikasi riba dan
masalahnya
3. Mampu menghindarkan diri dari sikap riba
dan masalahnya.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Riba
Riba yang berasal dari bahasa Arab
artinya tambahan (ziyadah, Arab/addition, Inggris), yang berarti
: tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman.
اَلرِّبَـافيِ
الشَّرْعِ هُوَ فَصْلٌ خَـالٍ عَنْ عِوَاضٍ شُرِطَ ِلاَحَدِالْـعَاقِدِيْنَ
Kelebihan/tambahan pembayaran tanpa
ada ganti/imbalan yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang
membuat akad / transaksi.
Ada yang membedakan antara riba dan rente/bunga
seperti bahwa riba adalah untuk pinjaman yang bersifat konsumtif, sedangkan rente/riba
untuk pinjaman yang bersifat produktif.
Riba secara literal berarti ‘ziyadah’
(tambahan) dan an-naamu (berkembang atau berbunga). Sedangkan menurut
istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal
secara batil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum
terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan,
baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam, secara batil atau bertentangan
dengan prinsip muamalah dalam Islam.
DR. M. Umer Chapra menulis :” dalam terminologi
fiqih, riba berarti suatu tambahan dalam salah satu dari dua barang homogen
yang dipertukarkan tanpa adanya suatu transaksi pengganti atau penyeimbang yang
dibenarkan syari’ah.” Wahid Abdus Salam Al-Baly mempertegas defenisi tersebut
:”Riba merupakan tambahan yang disyaratkan terhadap uang pokok tanpa ada
transaksi pengganti yang disyaratkan.”
Batasan riba yang diharamkan oleh
Al-Qur’an sebenarnya tidak memerlukan penjelasan yang rumit. Karena, tidak
mungkin Allah mengharamkan sesuatu bagi manusia, apalagi mengancam pelakunya
dengan siksa yang paling pedih, sementara bagi mereka sendiri tidak jelas apa
yang dilarang itu. Padahal Allah telah berfirman :
“Allah telah menghalalkan jual-beli dan
mengharamkan riba.” ( Q.S Al-Baqarah : 275 )
3
3
Huruf “al-ma’rifah” dalam
kata “ar-riba” baik sebagai keterangan “lil ‘ahd” ‘lazim dikenal’
atau “lil jinsi” ‘jenis’, atau “lil istighroq” ‘umum’, maksudnya
sudah jelas dan terang, yaitu mengharamkan seluruh jenis riba. Seandainya
pengertian riba masih kabur, mestilah diterangkan Allah kepada mereka. Ayat ini
tidak mendefenisikan lagi kata riba mengingat sudah lazim dikenal secara
umum. Riba sebagai suatu bentuk transaksi telah dikenal oleh bangsa Arab sejak
masa jahiliyah, dan juga dikenal oleh non Arab. Bangsa Yahudi telah
mempraktikkan riba jauh sebelum itu, sampai-sampai perbuatan tersebut
diinventarisasi oleh Al-Qur’an dalam kumpulan catatan kriminal mereka :
“Mereka
(Yahudi) mengambil riba, padahal telah dilarang dari perbuatan itu.” (Q.S
An-Nisaa’ : 161)
Adapun dampak akibat praktek riba
itu antara lain ialah :
1. Menyebabkan eksploitasi (pemerasan)
oleh si kaya terhadap si miskin
2. Uang modal besar yang dikuasai oleh
the haves tidak disalurkan ke dalam usaha-usaha yang produktif, misalnya
pertanian, perkebunan, industri, dan sebagainya yang dapat menciptakan lapangan
kerja banyak, yang sangat bermanfaat bagi masyarakat dan juga bagi pemilik
modal sendiri, tetapi modal besar itu justru disalurkan dalam perkreditan
berbunga yang belum produktif.
3. Bisa menyebabkan kebangkrutan usaha
dan pada gilirannya bisa mengakibatkan keretakan rumah tangga, jika si peminjam
itu tidak mampu mengembalikan pinjaman dan bunganya.
Karena melihat bahaya besar atau dampak negatif dari praktek
riba itulah, maka Nabi Muhammad membuat perjanjian dengan kelompok Yahudi,
bahwa mereka tidak dibenarkan menjalankan praktek riba dan Islam pun dengan
tegas melarang riba. Di dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang
membicarakan riba secara eksplisit. Pada periode Mekah sebelum hijrah, Allah
berfirman dalam surat ar-Rum ayat 39, yang menerangkan bahwa bagi Allah orang
itu sebenarnya tidak melipatgandakan hartanya dengan jalan riba, melainkan
dengan jalan zakat yang dikeluarkan karena Allah semata-mata.
4
Di dalam hadits-hadits Nabi, yang menegaskan bahwa riba itu
termasuk tujuh dosa besar, yakni syirik, sihir, membunuh anak yatim, melarikan
diri waktu pertempuran dan menuduh zina wanita yang baik-baik.
لَعَـنَ
الله ُ آكِلَ الرِّبَـا وَهُوَ كِلَّهُ وَشَــاهِـدَيْهِ وَكَاتِبَـهُ (الحديث)
Allah mengutuk orang yang mengambil
riba (orang yang memberi pinjaman), orang yang memberikan riba (orang yang
utang), dua orang saksinya, dan orang yang mencatatnya.
Ibnu
al-Qayyim, sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman Isa menerangkan bahwa riba ada
dua macam, yaitu :
a. Riba yang jelas, yang diharamkan
karena adanya keadaan sendiri, yaitu riba nasiah (riba yang terjadi karena
adanya penundaan pembayaran hutang). Riba nasiah ini hanya di perbolehkan dalam
keadaan darurat.
b. Riba yang samar, yang diharamkan
karena sebab lain, yaitu riba yang terjadi karena adanya tambahan pada jual
beli benda/bahan yang sejenis.
اَلْحَــاجَةُ
تَنْزِلُ مَنْزِلَـةَ الضَّرُوْرَةُ تُبِيْحُ الْمَحْطُوْرَاتِ.
Hajat (keperluan yang
mendesak/penting) itu menempati di tempat terpaksa, sedangkan keadaan darurat
itu menyebabkan boleh melakukan hal-hal yang dilarang.
B.
Hukum
Riba
Riba diharamkan oleh seluruh agama
samawi, dianggap membahayakan oleh Islam, Yahudi dan Nashrani.
Larangan riba muncul dalam
Al-Qur’an pada empat kali penurunan wahyu yang berbeda-beda. Yang pertama, Q.S
Ar-Ruum ayat 39 diturunkan di Mekkah. Yang kedua, Q.S An-Nisaa’ ayat 161
diturunkan pada masa permulaan periode Madinah. Wahyu yang ketiga, Q.S Ali
Imran ayat 130-132 diturunkan kira-kira tahun ke-2 atau ke-3 Hijriyah. Wahyu
yang keempat, Q.S Al-Baqarah ayat 275-281 diturunkan menjelang selesainya misi
Rasulullah saw.
5
Rasulullah juga mengutuk, dengan
menggunakan kata-kata yang sangat terang, bukan saja mereka yang mengambil
riba, tetapi juga yang memberikan riba dan juga para penulis yang mencatat transaksi
atau para saksinya. “Dari Jabir r.a, Rasulullah saw. bersabda, ‘Terkutuklah
orang yang menerima dan membayar riba, orang yang menulisnya, dan dua orang
saksi yang menyaksikan transaksi itu.’ Beliau lalu bersabda, ‘Mereka semua sama
(dalam berbuat dosa).” (H. R Muslim, Tirmidzi dan Ahmad)
Dalam agama Yahudi, disebutkan di
Perjanjian Lama :”Bila saudaramu membutuhkan, penuhilah, dan jangan meminta
keuntungan serta manfaat darinya… (ayat 24, pasal 22, Eksodus). Hanya
sangat disayangkan, tangan-tangan jahil telah menjamah Perjanjian Lama itu,
sehingga kata “saudaramu” dimaknai secara khusus sebagai bangsa Yahudi. Dalam
Eksodus 19-23 disebut adanya standar ganda ini, “untuk orang asing engkau
pinjami dengan mengambil riba, akan tetapi untuk saudaramu jangan kau pinjami
dengan riba.”
Dalam agama Nashrani Injil Lukas
menyebutkan, “Lakukan yang baik-baik, berikanlah pinjaman dengan tanpa
mengharapkan imbalan keuntungan darinya. Bila itu kalian lakukan, pahala kalian
sangat besar.” (ayat 24-25, pasal 6).
Pandangan serupa juga dianut oleh
para filsuf. Filsuf Yunani kuno, tepatnya Solon (peletak undang-undang Athena
kuno) dan Plato, mengharamkan riba. Aristoteles menganggap riba sebagai hasil
yang tidak wajar karena diperoleh dari jerih payah orang lain. Ia berpendapat,
uang tidak bisa melahirkan uang.
C. Klasifikasi Riba
Al Qur`an,
hadits dan ijma ulama Islam telah menetapkan haramnya riba. Ketetapan ini
bersesuaian dengan asas keadilan dan qiyas (analogi) yang shahih. Yang dimaksud
dengan riba adalah, setiap tambahan yang ada dalam barang-barang tertentu.
Riba
terbagi menjadi dua, bisa juga menjadi tiga. Yaitu: riba fadhl, riba nasiah dan
riba al qordh.
1.
Riba
fadhl (tambahan), yaitu jual beli uang dengan uang, makanan dengan makanan,
dengan ada penambahan di salah satu dari kedua barang tersebut .
Misalnya jual beli dua barang yang
ditakar (ditimbang) dengan berbagai tingkatan
6
kualitasnya, antara satu dengan yang
lain tidak sama takaran atau timbangannya. Padahal dalam jual beli ini harus
memenuhi dua syarat, yaitu sama persis ukuran (timbangnya) dan diserahkan dalam
satu waktu atau tempat transaksi (spontan). Konkretnya, jual beli 1 kg kurma
harus ditukar dengan 1 kg kurma, karena jenisnya sama maka harus serupa pula
timbangannya. Dan tidak boleh 1 kg kurma ditukar dengan 2 kg kurma walaupun
berbeda kualitasnya. Selama berada dalam satu jenis, maka harus sama takaran
(timbangannya).
2.
Riba
nasi-ah, definisinya, mengakhirkan penyerahan barang (setelah transaksi) dalam
setiap jenis barang yang serupa illahnya (pangkal alasan dari suatu hukum),
sebagaimana illah yang terdapat dalam riba fadhl.
Riba ini sangat menyusahkan orang
dan diharamkan. Riba ini merupakan jual beli antara dua macam barang yang
ditakar atau ditimbang, yang satu diberikan sekarang dan yang lainnya diberikan
pada lain waktu sesuai kesepakatan. Baik antara jenis yang sama seperti gandum
dengan gandum, atupun berbeda jenisnya semisal gandum dengan kurma, atau kurma
dengan kismis.
Setiap yang berlaku dalam riba fadhl
dalam jenis barangnya, berlaku juga untuk riba nasi-ah, akan tetapi, terkadang
yang tidak diperbolehkan dalam riba nasi-ah diperbolehkan dalam riba fadhl
(dengan berbeda selisih takaran/timbangan) bila berlainan jenis. Missal, jual
beli kurma 2 kg dengan kismis/anggur kering 1 kg ( berbeda jenisnya) dibolehkan
apabila diberikan di tempat transaksi, langsung antara penjual dan pembeli
sebelum berpisah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda” [al Baqarah:130]
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda” [al Baqarah:130]
Dahulu, orang-orang Jahiliyah bila
telah jatuh tempo pembayaran hutang, orang yang menghutangkan berkata kepada
orang yang berhutang: “bayar sekarang atau engkau membayarnya nanti tetapi
harus dengan tambahan dari jumlah nominal hutang”. Baik dengan bahasa
terang-terangan ataupun dengan ungkapan kiasan (halus yang tendensius),
hukumnya haram.
7
3.
Riba
al qord, gambarannya adalah seseorang yang menghutangkan uang kepada orang lain
dengan mensyaratkan tambahan manfaat (jasa). Sebagai contoh, Fulan A
menghutangkan kepada Fulan B dengan syarat B sudi meminjamkan rumah atau
kendaraan, atau setiap pekan (bulan) beras 1 kg kepada A.
Hal ini termasuk riba, dan bukan
sekedar hutang. Karena tujuan menghutangkan ialah untuk berbuat baik dan
menebar kasih-sayang kepada sesama. Perbuatan ini berlawanan dengan tujuannya.
Bahkan hakikatnya, praktek ini merupakan jual beli uang dengan uang, dengan
tenggang tempo, riba yang ada diambilkan dari manfaat yang telah menjadi
kesepakatan bersyarat.
Ketiga
macam riba di atas diharamkan oleh Allah dan RasulNya, karena hal itu merupakan
kezhaliman dan bertentangan dengan keadilan. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman :
“Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. [al Baqarah : 279]
“Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. [al Baqarah : 279]
Bila
ada yang mengatakan “bagaimana hal ini bisa dikatakan sebagai kezhaliman,
padahal orang ini sudah rela dengan kesepakatan yang terjadi untuk membayar
dengan sejumlah kelebihan tertentu?”
Maka
jawabnya bisa ditinjau dari dua sisi.
Pertama,
harus dipahami hakikat kezhaliman yang ada adalah mengambil harta dengan tanpa
hak (alasan yang diperbolehkan syariat). Seseorang yang tidak bisa membayar
karena kesusahan, seharusnya ditunda pembayarannya. Mengambil tambahan dari
jumlah yang semestinya ia ambil (nominal hutang, Red) adalah kezhaliman. Selain
itu, keridhaan yang ada dalam diri seseorang harus bersesuaian syariat. Bila
syariat melarang walaupun ia ridha, maka kerelaannya tidak memiliki arti.
Kedua,
pada hakikatnya ia tidak ridha atau terpaksa untuk menerimanya. Karena ia
khawatir bila tidak diberikan pinjaman. Orang yang berakal tidak akan ridha
dengan kewajiban membayar uang yang berlipat ganda yang tidak pernah ia
manfaatkan.
Juga
dapat dikatakan, ia telah berbuat zhalim kepada dirinya sendiri, karena
hakikatnya ia telah melemparkan dirinya kepada kebinasaan dan azab akhirat,
karena dengan sengaja telah melakukan apa yang diharamkan oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ala.
8
Gambaran
kezhaliman ini sangat jelas dalam praktek riba nasi-ah. Sedangkan riba fadhl
diharamkan sebagai upaya menutup akses menuju riba nasi-ah.
D.
Jenis Barang Yang Masuk Dalam
Kategori Riba
Tidak
setiap barang pada transaksi yang berbeda jumlahnya dikatakan riba. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebutkan enam macam yang dikatakan riba,
sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, emas
dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung,
kurma dengan kurma, garam dengan garam, sejenis dengan sejenisnya, saling sama
jumlahnya, tangan dengan tangan (langsung diserahkan saat transaksi terjadi).
Bila berbeda jenis-jenis ini, maka jual sekehendak kalian, tetapi harus
diserahkan saat transaksi.
Keenam
macam barang ini telah disepakati masuk dalam kategori riba. Kemudian para
ulama berbeda pendapat, apakah barang selainnya dapat diqiaskan kepada keenam
macam tersebut apa tidak?
Jumhur
ulama berpendapat, bahwa selainnya dapat diqiaskan kepada keenam macam
tersebut, bila sesuai dengan illah (alasan) yang ada. Di antara mereka ada yang
berpendapat bahwa illah emas dan perak dalam hadits adalah tsamaniyyah (alat
tukar) sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Shalih al Fauzan dan as Sa’di.
Sedangkan
Syaikh al ‘Utsaimin memiliki pandangan, bahwa pendapat yang paling dekat
(kebenaran)nya bahwa illah yang terkandung dalam emas dan perak karena dzat
emas dan peraknya, baik yang berupa mata uang atau bukan.
Adapun
illah yang terdapat dalam gandum, tepung, kurma dan garam adalah sebagai barang
yang ditakar dan makanan (dikonsumsi).
Jadi
dapat disimpulkan, segala jenis barang yang illahnya sama dengan keenam macam
tersebut, bisa dimasukkan ke dalam masalah riba.
Contoh
dalam riba fadhl. Bila barang yang sama jenis dan macamnya, semisal beras
ditukar dengan beras, maka dalam jual belinya harus memenuhi dua syarat, yaitu
sama ukurannya dan diberikan di tempat akad serta dalam satu waktu, tidak boleh
barang yang satu diberikan sekarang sedangkan barang lainnya diserahkan
keesokan harinya. Jadi 1 kg beras tidak boleh ditukar dengan 2 kg beras.
Walaupun berbeda kualitasnya.
9
Bila
ada yang mengatakan, mengapa hal ini dilarang, padahal perbedaan kualitas
mempengaruhi harga? Maka jawabnya, itulah Islam yang hukumnya penuh dengan
segala kesigapan untuk menutup segala celah penipuan dan perbuatan aniaya lain
yang lebih besar. Hal seperti ini pernah terjadi pada zaman Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yakni, ada seseorang yang bertanya kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang menjual kurma jenis jelek dengan jumlah
yang lebih banyak dengan kurma berkualitas baik dengan takaran yang lebih
sedikit. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhnya untuk
mengembalikannya, seraya berkata: “Ini adalah riba,” kemudian beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menjual terlebih dahulu
kurma yang jelek dengan dirham (uang), kemudian baru dibelikan (dengan dirham
tersebut) kurma yang baik.[7]
Oleh
karena itu, bila diketahui jenis dan macamnya sama, maka sebaiknya salah
satunya diuangkan terlebih dahulu, baru kemudian ditukarkan dengan yang lebih
rendah atau tinggi kualitas ataupun banyaknya, untuk lebih menghindari hal-hal
yang mengandung unsur riba’.
Bila
berbeda jenis barang, tapi masih termasuk barang yang berkategori riba, maka
boleh berbeda ukurannya, dengan syarat harus diserahterimakan dalam satu tempat
dan tempo ketika transaksi.
Tatkala
berbeda jenisnya, baik kedua-duanya tidak masuk kategori riba atau hanya salah
satunya saja, maka boleh berbeda takarannya serta dapat dijual diluar waktu dan
tempat transaksi tersebut.
Dr.
Abdullah ‘Aziz Badawi berkata,”Apabila enam jenis (termasuk barang yang diqiaskan
kepadanya, pent) dijual dengan barang yang berbeda jenis dan illahnya, misalnya
emas dengan gandum, perak dengan garam, maka dibolehkan terjadinya selisih
jumlah (tafadhul) dan dapat diakhirkan penyerahannya (nasi-ah).
Dapat
kita simpulkan, bahwa dalam masalah jual beli dapat di bagi menjadi empat
macam.
1.
Bila
jual beli dalam satu jenis barang (jenis, macam dan illahnya sama) yang
berkategori riba, maka diharamkan tafadhul (tambahan atau selisih jumlah
barang) dan nasi-ah (menunda penyerahan barang). Misalnya, kurma dengan kurma,
maka harus sama jumlahnya dan tidak boleh nasi-ah.
10
2.
Bila
dalam dua jenis yang serupa illah riba fadhlnya (misal, kurma dan gandum
illahnya
sama, yaitu timbangan atau takaran dan makanan), maka diharamkan nasi-ah dan dibolehkan terjadinya tafadhul. Misal, kurma 2 kg dengan gandum 1 kg, emas 10 gr dengan perak 30 gr. Hal ini boleh tafadhul, tapi dilarang nasi-ah.
sama, yaitu timbangan atau takaran dan makanan), maka diharamkan nasi-ah dan dibolehkan terjadinya tafadhul. Misal, kurma 2 kg dengan gandum 1 kg, emas 10 gr dengan perak 30 gr. Hal ini boleh tafadhul, tapi dilarang nasi-ah.
3.
Bila
di antara dua jenis berbeda yang masih dalam kategori riba yang tidak serupa
illahnya (jenisnya berbeda tapi masih dalam jenis barang yang masuk dalam
kategori riba), maka boleh tafadhul dan nasi-ah. Misal, kurma dengan emas.
Illah kurma takaran dan makanan, illah emas karena emas barang yang sangat
bernilai.
4.
Bila
di antara barang yang tidak dalam kategori riba (baik salah satunya atau
keduanya), maka boleh nasi-ah dan tafadhul. Semisal, emas dengan pakaian, atau
pakain dengan buku.
E.
Alasan Yang
Muncul Untuk Membela Bunga (Interest)
Di dunia ini akan selalu ada
konfrontasi yang abadi, yaitu peperangan antara al-haq dan al-bathil.
Masing-masing mempunyai pengikut yang setia membelanya. Ketika para pembela al-haq
telah sepakat bunga (interest) adalah riba yang diharamkan, muncul para pendukung
al-bathil dengan seribu satu macam alasannya untuk membela bunga
(interest). Dalam makalah ini penulis hanya memunculkan satu alasan diantara
sekian banyak alasan yang dimunculkan oleh para pendukung riba.
Masalah riba yang
berlipat ganda.
Dalam
upaya untuk mencari-cari celah membolehkan bunga bank, ada orang yang beralasan
bahwa riba yang diharamkan Al Qur’an ialah riba yang adh’afan mudha’afah’berlipat
ganda’, sedangkan riba yang kecil seperti 8% atau 10% tidak termasuk riba yang
dilarang. Ungkapan ini terdengar sejak awal abad kedua puluh, dengan alasan
berpegang kepada konotasi ayat Al Qur’an :
“Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda,
takutilah Allah, semoga kamu beruntung.” (Q.S Ali Imran :
130)
Orang
yang memiliki kemampuan memahami cita rasa bahasa Arab yang tinggi dan
mnemahami retorikanya, sangat memaklumi bahwa sifat riba yang disebutkan dalam
ayat
11
ini ‘adh’afan
mudha’afah’ adalah dalam konteks menerangkan kondisi objektif dan sekaligus
mengecamnya. Mereka telah sampai pada tingkat ini dengan cara melipatgandakan
bunganya.
Pola
berlipat ganda ini tidak dianggap sebagai kriteria (syarat) dalam pelarangan
riba. Dalam arti bahwa berlipat ganda hukumnya boleh.
Lagi
pula manakah yang disebut disebut riba yang kecil dan mana riba yang besar?
Siapa yang menyatakan 10% itu kecil dan 12% itu besar? Apa ukurannya? Sangat
relatif.
Jika
kita mau berpegang pada makna eksplisit ayat, maka yang disebut berlipat ganda
itu besarnya 600% sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Prof. Dr.Muhammad
Daraz, karena kata ‘adh’af’ itu sendiri bentuk jamak, paling sedikitnya
tiga. Maka, jika tiga dilipatgandakan walaupun sekali, maka akan menjadi enam.
Adakah yang membenarkan hal ini?
Dalam
surah Al Baqarah, terdapat penghapusan riba secara total.
“Wahai
orang-orang yang beriman, takutlah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba,
jika kamu orang yang beriman. Jika kamu tidak melepaskan seluruh sisa riba,
maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Jika kamu bertobat,
maka bagimu pokok hartamu. Kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiya.” ( Q.S
Al Baqarah : 278-279 ).
F.
Bank non-Islam (Convensional Bank)
Bank
non Islam atau convensional bank, ialah sebuah lembaga keuangan yang
berfungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan kepada yang memerlukan
dana, baik perorangan atau badan guna investasi dalam usaha-usaha yang
produktif dan lain-lain dengan sistem bunga, sedangkan bank Islam, ialah sebuah
lembaga keuangan yang menjalankan operasinya menurut hukum Islam. Sudah tentu
bank Islam tidak memakai sistem bunga, sebuah bunga dilarang oleh Islam.
Sebagai
pengganti sistem bunga Bank Islam menggunakan berbagai cara yang bersih dari
unsur riba antara lain ialah sebagai berikut :
a. Wadiah (titipan uang, barang dan surat
berharga dan deposito). Lembaga fiqh Islam bisa diterapkan oleh Bank Islam
dalam operasinya menghimpun dana dari masyarakat
12
dengan
cara menerima deposito berupa uang, barang, dan surat-suart berharga sebagai
amanah yang wajib dijaga keselamatannya oleh Bank Islam. Bank berhak
menggunakan dana yang didepositokan itu tanpa harus membayar imbalannya, tetapi
bank harus menjamin bisa mengembalikan dana itu pada waktu pemiliknya
(depositor) memerlukannya.
b. Mudharabah (kerjasama antara pemilik
modal dengan pelaksana atas dasar perjanjian profit and loss sharing. Dengan
mudharabah ini, bank Islam dapat memberikan tambahan modal kepada pengusaha
untuk perusahaannya dengan perjanjian modal kepada pengusaha untuk
perusahaannya dengan perjanjian bagi hasil dan rugi yang perbandingannya sesuai
dengan perjanjian, misalnya fifty-fifty. Dalam mudharabah ini, bank tidak
mencampuri manajemen perusahaan.
c. Bank Islam boleh pula mengelola
zakaat di negara yang pemerintahannya tidak mengelola zakat secara langsung.
Dan bank juga dapat menggunakan sebagian zakat yang terkumpul untuk
proyek-proyek yang produktif yang hasilnya untuk kepentingan agama dan umum.
G.
Hukum
Bermuamalah Dengan Bank Konvensional dan Hukum Mendirikan Bank Islam
Dalam
kehidupan modern seperti sekarang ini, umat Islam hampir tidak bisa menghindar
diri dari bermuamalah dengan bank konvensional yang memakai sistem bunga itu
dalam segala aspek kehidupannya, termasuk kehidupan agamanya. Misalnya ibadah
haji di Indonesia umat Islam harus memakai jasa bank apalagi dalam kehidupan
ekonomi tidak bisa lepas dari jasa bank. Sebab tanpa jasa bank, perekonomian
Indonesia tidak selancar dan semaju seperti sekarang ini. Namun para ulama dan
cendekiawan muslim hingga dini masih tetap berbeda pendapat tentang hukum bermuamalah
dengan bank konvensional dan hukum bunga bank.
Menurut
penulis, alasan ulama dan cendekiawan muslim membolehkan bahkan menganjurkan
berdirinya bank Islam dapat disimpulkan sebagai berikut :
1) Umat Islam telah berada dalam
keadaan darurat, sebab dalam kehidupan modern
13
sekarang ini umat Islam hampir tidak bisa menghindarkan diri
dari bermuamalah dengan bank dengan sistem bunga dalam segala aspek kehidupan,
termasuk kehidupan agama / ibadahnya.
2) Untuk menyelamatkan umat Islam dari
praktek bunga yang mengandung unsur pemerasan (eksploitasi) dari si kaya
terhadap si miskin atau orang yang kuat ekonominya terhadap yang lemah
ekonominya.
3) Untuk menyelamatkan ketergantungan
umat Islam dengan bank non-Islam yang menyebabkan umat Islam berada di bawah
kekuasaan bank, sehingga umat Islam tidak bisa menerapkan ajaran agamanya dalam
kehidupan pribadi dan masyarakat, terutama dalam kegiatan bisnis dan
perekonomiannya.
4) Untuk mengaplikasikan ketentuan
fiqh, اَلْحُرُوْجُ
مِنَ الْخِلاَفِ مُسْتَحَتٌ (menghindari perselisihan ulama itu
sunat hukumnya). Sebab ternyata sehingga kini ulama dan cendekiawan muslim
masih beda pendapat tentang hukum bermuamalah dengan bank konvensional, karena
masalah bunga bank yang masih tetap kontrovesial (haram/syubhat/halal).
H.
Bank
Islam di Indonesia
Telah lama umat Islam di Indonesia mendambakan adanya bank
dengan sistem syari’at Islam (tanpa bunga) dan ikhtiar-ikhtiar untuk menuju
kearah itu telah lama dilakukan. Karena itu, patut di syukuri berdirinya Bank
Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1991, setelah diprakarsai oleh Majelis
Ulama Indonesia (MUI) dan didorong oleh cendekiawan muslim Indonesia (ICMI)
kemudian direstui dan disponsori Presiden.
Setelah BMI sebagai bank umum dengan sistem bagi hasil
berdasarkan syari’at Islam berdiri pada tahun 1991 dengan total modal Rp. 120
Milyar yang terkumpul hanya dalam tempo 3 hari, kemudian disusul dengan
lahirnya Bank Perkreditan Rakyat (BPR) pada tahun 1992 di berbagai daerah di
Indonesia.
1. Tujuan BMI dan BPR dengan sistem
bagi hasil berdasarkan syariat Islam antara lain adalah :
a.
Untuk
meningkatkan kualitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat terbanyak bangsa
Indonesia, sehingga semakin berkurang kesenjangan sosial ekonomi dan
14
dengan demikian akan melestarikan
pembangunan nasional antara lain melalui :
-
Peningkatan kuantitas dan kualitas
kegiatan usaha
-
Peningkatan kesempatan kerja dan
-
Peningkatan pendapatan masyarakat
banyak
b. Untuk meningkatkan partisipasi
msyarakat banyak dalam proses pembangunan terutama dalam bidang ekonomi
keuangan karena:
- Masih cukup banyak yang enggan berhubungan dengan bank itu
riba
- Masih banyak masyarakat yang menganggap bunga bank itu riba
- Dengan berhasilnya pembangunan di bidang agama makin banyak
masyarakat yang mempersoalkan hukum bunga bank
2. Produk-Produk operasional BMI
Pada umumnya produk-produk operasional bank konvensional
juga dilakukan dan dikembangkan oleh BMI, tetapi tidak dengan sistem bunga
seperti yang dilakukan oleh bank konvensional, melainkan dengan sistem bagi
hasil berdasarkan syariat Islam.
a) Produk-produk BMI yang ditawarkan kepada masyarakat antara
lain dalam bentuk :
a.
Giro titipan (wadi’ah)
-
Giro wadiah untuk ibadah, masjid,
baitul maal, bazis, dan sebagainya
-
Giro wadi’ah untuk muamalah,
terdapat saldo rata-rata diatas jumlah tertentu dalam waktu tertentu dengan hak
laba.
15
b. Deposito
bagi hasil / mudharabah
c. Simpanan mudharabah namun dibenarkan
adanya mutasi tanpa perjanjian, sehingga perlu perhitungan saldo rata-rata.
1)
Tabungan mudharabah ibadah haji
-
Dapat dijadikan jaminan fasilitas
kredit bank
2)
Tabungan mudharabah muamalah
-
Untuk beasiswa, nikah, rumah dan
sebagainya
- Bagian laba diperhitungkan sesuai dengan saldo rata-rata
dalam waktu tertentu
- Dapat dijadikan jaminan fasilitas kredit bank.
b) Produk penyaluran dana berupa :
-
Kredit bagi hasil mudharabah
-
Kredit pemilikan barang jatuh tempo
-
Kredit pemilikan barang cicilan
-
Kredit kebijakan
16
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dapat diambil kesimpulan, bahwasanya
riba itu hukumnya haram dan tidak diperbolehkan dan hukum bunga bank
konvensional hukumnya sama dengan riba dan bank Islam sistemnya bagi hasil yang
diperbolehkan agama.
Setelah mengetahui keharaman bunga (interest)
muncul pertanyaan ‘apa solusinya?’. Jawaban sederhananya adalah kembali ke
Al-Qur’an dan As-Sunah. Sejarah telah membuktikan bahwa sistem perkonomian
Islam yang bebas riba telah mampu memakmurkan bumi ini. Pada zaman Khalifah
Umar bin Abdul Aziz, sulit dicari orang yang berhak menerima zakat.
Kewajiban pertama bagi umat Islam adalah
membebaskan diri dari keterikatan dengan bank-bank ribawi. Pindahkan semua uang
ke bank-bank Islam. Pemerintah wajib mendukung dan membantu pendirian
lembaga-lembaga keuangan Islam. Namun tidak berarti ketiadaan lembaga keuangan
Islam menjadi alasan untuk membolehkan praktek ribawi. Masih banyak alternatif
yang lain, diantaranya muzara’ah.
Disamping para ekonom muslim wajib mengkaji
Ekonomi Islam lebih mendalam, sehingga permasalahan umat dibidang perekonomian
terselesaikan. Karena ada benyak transaksi-transaksi model baru yang dibutuhkan
umat saat ini. kita harus berhati-hati, jangan sampai terjerumus ke riba.
B.
Saran
Dalam
penyusunan makalah ini, masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan, untuk itu
penulis sangat mengharapkan partisipasi rekan dan dosen berupa saran serta
kritik yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.
17
DAFTAR PUSTAKA
----,1989. Al-Qur’an dan Terjemahannya.
CV Toha Putra
Al-Qardhawi, Yusuf. 2002. Bunga Bank Haram.
Diterjemahkan oleh DR. Setiawan Budi Utomo, Akbar Media Eka Sarana, Jakarta.
Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah.
Diterjemahkan oleh H. Kamaluddin, A. Marzuki, PT. AlMa’arif, Bandung.
Baly, Wahid Abdus Salam. 2002. Dialog Bank
Syari’ah vs Bank Konvensional. Diterjemahkan oleh Kathur Suhardi, Darul
Falah, Jakarta.
Chapra, M. Umer. 2000. Sistem Moneter
Islam. diterjemahkan oleh Ikhwan Abidin Basri, Gema Insani Pers, Jakarta.
Chapra, M. Umer. 2001. Masa Depan Ilmu Ekonomi
Sebuah Tinjauan Islam. diterjemahkan oleh Ikhwa Abidin Basri, Gema Insani
Pers, Jakarta.
Karim, Adiwarman A. 2001. Ekonomi Islam
Suatu Kajian Kontemporer. Gema Insani Pers.
Al-Qordhawi, Yusuf. 2000. Norma dan Etika
Ekonomi Islam.diterjemahkan oleh Zainal Arifin dan Dahlia Husin, Gema
Insani Pers, Jakarta.
Al-Qordhawi, Yusuf. 2001. Halal Haram dalam Islam.
diterjemahkan oleh Wahid Ahmadi, dkk, Gema Insani Pers, Jakarta.
Hafidhuddin, Didin. 2003. Islam Aplikatif.
Gema Insani Pers, Jakarta.
Suhendi, Endi. 2002. Fiqh Muamalah.
Rajawali Pers, Jakarta.
Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi,
Masail Fiqhiyah, PT. Toko Gunung Agung, Jakarta, 1987
M. Daud Ali, Kedudukan Hukum
dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta, 1984.
MUI, Kumpulan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1984
Fiqh wa Fatawa al Buyu`, karya as
Sa’di, Fatawa wa Qawaid Tatallaqu bi Ahkami al Buyu`, hlm. 241-263. Cet.
Adhwa-u as Salaf.
Asy Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil
Mustaqni’, Syaikh al ‘Utsaimin, Jilid 8, Cet. Muassasah Salam.
Al Mulakhas al Fiqhi, Shalih al
Fauzan, Jilid 2, Cet. Daar Ibn al Jauzi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar