Tugas Makalah
Dosen : Drs. Syamsuriadi
Dosen : Drs. Syamsuriadi
Oleh :
NAMA : KADDING
NIM :
K: 1540 5922 11
KELAS : I
PROGRAM PENGAKUAN PENGALAMAN KERJA
DAN HASIL BELAJAR (PPKHB)
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2011
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirahim
Syukur Alhamdulillah kami
panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan sebuah makalah yang berjudul Masalah Problema Dakwa
Islam dengan baik. Shalawat dan salam selalu tercurah keharibaan junjungan
kita, Nabi Besar Muhammad SAW, beserta sahabat dan pengikutnya hingga akhir
zaman.
Dalam kesempatan ini, penulis
mengucapkan terimakasih yang sebesar- besarnya kepada semua pihak yang telah
banyak membantu dalam proses pembuatan makalah ini.
Kami menyadari makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan
saran demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini berguna
dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Masamba, 30 September 2011
Penulis
|
i
DAFTAR ISI
Halaman
Judul
Kata
Pengantar............................................................................................................ i
Daftar
Isi..................................................................................................................... ii
BAB I:
PENDAHULUAN......................................................................................... 1
A.
Latar Belakang
Masalah......................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah................................................................................... 1
C.
Tujuan Masalah....................................................................................... 1
BAB II: PEMBAHASAN........................................................................................... 2
A.
Pengertian Dakwah
Islam..………………………….......................... 3
B.
Melihat
Problematika Umat…………………………………………... 3
1.
Problematika
Internal Aktivis Dakwah…………………………… 4
2. Problematika Eksternal Dakwah………………………………….. 6
C.
Strategi
Dakwah dalam Merespon Problematika Umat……………….. 7
1. Peningkatan sumber daya muballigh/Da’i (SDM)………………… 8
2. Pemanfaatan Teknologi Modern sebagai Media Dakwah…………. 8
3.
Pengembangan
Metode Dakwah Fardhiyah……………………….. 9
4. Penerapan Dakwah Kultural………………………………………. 10
5. Monitoring dan Evaluasi Dakwah………………………………… 11
6. Membuat Pemetaan (Peta Dakwah)………………………………. 12
7. Daya Tahan di Medan Dakwah……………………………………. 12
8. Yang Tegar di Jalan Dakwah……………………………………… 14
BAB III: PENUTUP.................................................................................................. 15
A.
Kesimpulan............................................................................................. 15
B.
Saran....................................................................................................... 15
Daftar Pustaka.
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Islam adalah agama dakwah, artinya agama yang selalu mendorong pemeluknya
untuk senantiasa aktif melakukan kegiatan dakwah, bahkan maju mundurnya umat
Islam sangat bergantung dan berkaitan erat dengan kegiatan dakwah yang
dilakukannya. Dakwah
adalah suatu aktivitas atau kegiatan yang bersifat menyuruh atau mengajak
kepada orang lain untuk mengamalkan ajaran Islam. Dakwah merupakan suatu proses
penyampaian ajaran Islam yang dilakukan secara sadar dan sengaja.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan dakwa dalam Islam
2. Memahami
problema dakwah dalam Islam
3. Penerapan
sifat islami dalam diri seseorang
C.
Tujuan
Masalah
1. Dapat
memahami apa yang dimaksud dengan dakwa dalam islam
2. Mampu
memahami problema dakwah dalam Islam
3. Mampu
memahami mamfaat dakwah dalam islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Aktivitas
kegiatan dakwah dapat dilakukan dengan berbagai cara atau metode dan direncanakan
dengan tujuan mencari kebahagiaan hidup dengan dasar keridhaan Allah swt. Dakwah adalah usaha peningkatan pemahanman
keagamaan untuk mengubah pandangan hidup, sikap bathin dan perilaku umat yang
tidak sesuai menjadi sesuai dengan tuntunan syariat untuk memperoleh
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Da’i
harus mempunyai pemahaman yang mendalam bukan saja menganggap bahwa dakwah
dalam frame “amar ma’ruf nahi mungkar”,
sekedar menyampaikan saja melainkan harus memenuhi beberapa syarat, yakni
mencari materi yang cocok, mengetahui psikologis objek dakwah, memilih metode
yang representatif, menggunakan bahasa yang bijaksana dan sebagainya. Secara
konvensional, subjek dakwah terdiri dari da’i (mubaligh) dan pengelola dakwah.
Komposisi
subjek dakwah tersebut muncul karena dakwah selama ini lebih diartikan atau
dititikberatkan pada dialog lisan (verbal) saja. Da’i sering diidentikkan
dengan penceramah, sementara pengelola dakwah adalah penyelenggara kegiatan
dakwah yang dilembagakan dalam institusi permanen (ta’mir masjid, pengurus pengajian dan sebagainya) atau institusi
sementara dalam bentuk kepanitiaan. Subjek dakwah, lembaga atau pusat dakwah,
adalah institusi atau organisasi yang menjalankan atau mempunyai usaha berupa kegiatan
dakwah.
Mendakwahkan
Islam berarti memberikan jawaban Islam terhadap berbagai permasalahan umat.
Karenanya dakwah Islam selalu terpanggil untuk menyelesaikan
berbagai
permasalahan yang sedang dan akan dihadapi oleh umat manusia. Meskipun misi dakwah
dari dulu sampai kini tetap pada mengajak umat manusia ke dalam sistem Islam, namun
tantangan dakwah berupa problematika umat senantiasa berubah dari waktu
kewaktu.
Permasalahan
yang dihadapi oleh umat selalu berbeda baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Namun demikian, permasalahan-permasalahan umat tersebut perlu diidentifikasi dan
dicari solusi pemecahan yang relevan dan strategis melalui
pendekatan-pendekatan dakwah yang sistematis, smart, dan profesional.
B.
Melihat Problematika Umat.
Dinamisasi
kehidupan global yang semakin tinggi dan kompetitif telah mengiring
umat manusia
senantiasa memandang persoalan hidup secara pragmatis, logis, serba instan, dan
bahkan matematis. Keadaan demikian di samping membawa manfaat berupa kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang semakin memudahkan aktifitas manusia, juga telah
membawa implikasi negatif berupa lemahnya semangat transendental dan memudarnya
hubungan-hubungan sosial. Implikasi ini berlangsung demikian lama, sehingga
dewasa ini telah melahirkan berbagai kenyataan sosial yang cukup bertentangan
dengan cita-cita ideal Islam.
Realitas
sosial di atas ada yang tidak sesuai dengan cita ideal Islam, karenanya harus diubah
melalui dakwah Islam. Mengingat kenyataan-kenyataan sosial tersebut banyak dijumpai
dalam beberapa komunitas Islam dengan permasalahan yang berbeda-beda, maka diperlukan
paradigma baru dalam melakukan dakwah Islam yang mempertimbangkan jenis dan
kualitas permasalahan yang dihadapi oleh umat. Di sinilah institusi-institusi
dakwah dituntut dapat melakukan usaha-usaha dakwah secara sistematis dan
profesional melalui langkah-langkah yang srategis, sebagaimana yang diisyaratan
dalam surat at-Taubah ayat 105:
وقل اعملوا فسيرى
الله عملكم ورسوله والمؤمنون
Artinya:
bekerjalah kamu (secara profesional) maka Allah dan Rasul-Nya serta orang orang
Mukmin akan melihat pekerjaanmu itu.
1. Problematika
Internal Aktivis Dakwah
Pembahasan probelmatika internal
lebih didahulukan dari pada pembahasan problematika eksternal karena problem
terberat bagi semua jamaah dakwah adalah kendala internal. Ketika problematika
internal sudah diselesaikan/dikelola dengan baik, maka amanah dakwah lebih
mudah ditunaikan dan problematika eksternal lebih mudah diselesaikan.
Problematika internal yang sering
dijumpai dalam jamaah dakwah adalah gejolak kejiwaan, ketidakseimbangan
aktifitas, latar belakang dan masa lalu, penyesuaian diri, dan friksi internal.
Gejolak kejiwaan sebenarnya merupakan
persoalan yang dimiliki oleh semua manusia biasa. Dan yang perlu disadari
adalah para aktivis dakwah juga manusia biasa. Gejolak ini tidak bisa dimatikan
sama sekali, tetapi perlu dikelola dengan baik agar tidak merugikan dakwah dan
aktifis dakwah.
Diantara gejolak kejiwaan itu
adalah:
a.
Gejolak syahwat
Banyak
orang yang terpeleset oleh gejolak ketertarikan pada lawan jenis ini. Bagi
mereka yang belum menikah, gejolak ini biasanya lebih besar dan lebih
berpeluang “menggoda.”
b.
Gejolak amarah
Seperti kisah
Khalid saat menghadapi Jahdam dan pemuka bani Jazimah, gejolak amarah ini bisa
berakibat fatal termasuk bagi citra dakwah, hubungan antar aktifis dakwah, dan
terjadinya fitnah diantara kaum muslimin.
c.
Gejolak heroism
Semangat
heroisme memang bagus dan sangat perlu, tetapi ketika sudah tidak proporsional
ia akan mendatangkan sikap ekstrem yang berbahaya bagi kemaslahatan dakwah dan
umat. Kasus pembunuhan terhadap Nuhaik yang dilakukan Usamah bin Zaid adalah
contohnya.
d.
Gejolak kecemburuan
Seperti
kecemburuan Anshar pada para mualaf yang mendapatkan hampir semua ghanimah
perang Hunain, sikap ini bisa berefek pada melemahnya
soliditas
internal jamaah.
Meskipun yang dicemburui oleh Anshar
sebenarnya adalah perhatian Rasulullah dan bukan materi ghanimah-nya, gejolak
ini segera diselesaikan Rasulullah karena jika dibiarkan bisa berdampak
negatif.
Ketidakseimbangan aktifitas juga
menimbulkan problematika tersendiri. Ketidakseimbangan antara aktifitas
ruhaniyah dengan aktifitas lapangan, ketidakseimbangan antara dakwah di dalam
dengan di luar rumah tangga, ketidakseimbangan antara aktifitas pribadi dengan
organisasi, ketidakseimbangan antara amal tarbawi dengan amal siyasi,
ketidakseimbangan antara perhatian terhadap aspek kualitas dengan kuantitas
SDM; semuanya bisa berakibat negatif. Tawazun atau kesimbangan yang merupakan
asas kehidupan, juga harus dipraktikkan dalam kehidupan berjamaah dan oleh
semua aktifis dakwah.
Latar belakang dan masa lalu aktifis
yang buruk bisa pula menjadi problematika internal dakwah jika tidak dilakukan
langkah-langkah solutif. Latar belakang keagamaan keluarga, misalnya. Ia bisa
berbentuk lemahnya tsaqafah Islam, tekanan keluarga yang menentang aktifitas
dakwah, dan kerancuan dalam orientasi kehidupan. Sedangkan masa lalu yang “jahiliyah”
bisa membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi kredibilitas sang aktifis
dakwah. Solusi atas problem ini terangkum dalam kata “mujahadah.” Bagaimana
seorang aktifis melakukan muhasabah, menyadari kelemahannya dan melakukan
perbaikan diri. Masa lalu memang tidak bisa diubah, tetapi pengaruhnya bisa
dikendalikan.
Problematika
internal yang keempat adalah penyesuaian diri. Yakni penyesuaian diri terhadap
karakteristik pendekatan dan sikap dakwah yang melekat pada masing-masing
marhalah dan orbit dakwah. Sebagaimana corak dakwah yang berbeda antara fase
Makkiyah dan Madaniyah, bahkan masa sirriyah dan jahriyah pada fase Makkah yang
juga berbeda, dakwah saat ini juga mengalami hal yang sama; ada tahap-tahapnya.
Antara mihwar tanzhimi yang berkonsentrasi pada konsolidasi internal dan mihwar
muassasi yang konsen pada perjuangan politik membuat beberapa kader dakwah
tidak mampu menyesuaikan diri. Hambatannya bisa karena sifat “kelambanan”
kemanusiaan, kecenderungan
jiwa, keterbatasan dan perbedaan
tsaqafah, sampai keterbatasan kapasitas.
Untuk mengatasi problem ini
dibutuhkan peran kelembagaan dakwah. Jamaah dakwah perlu melakukan persiapan
perubahan fase dakwah, mensosialisasikan cara pandang yang disepakati tentang
batas-batas pengembangan dakwah sehingga jelas mana yang termasuk pengembangan
(tathwir) dan mana yang termasuk penyimpangan (inhiraf). Jamaah dakwah juga
harus mendefinisikan mana yang asholah dan tsawabit, serta mana yang
mutaghayyirat.
Problem internal kelima adalah
friksi internal. Friksi ini bisa timbul dari lingkungan yang kecil seperti
intern sebuah lembaga dakwah, atau antarlembaga, atau antarpersonal pendukung
dakwah. Banyak gerakan dakwah yang harus tutup usia dan kini tinggal nama
karena problematika ini. Friksi dalam sejarah dakwah memberi beberapa pelajaran
penting bagi kita: bahwa friksi merupakan indikasi kelemahan proses tarbiyah,
friksi menandakan adanya kelemahan dalam penjagaan diri para aktifis dakwah, restrukturiasi
dakwah tepat dilakukan terhadap orang-orang yang telah memahami karakter dakwah
itu sendiri, friksi juga bukti keberadaan ego manusia, penumbuhan al-wa’yul
islami (kesadaran berislam) dan al-wa’yu ad-da’awi (kesadaran dakwah) lebih
utama dibandingkan sekedar meletupkan hamasah (semangat) bergerak, dan sangat
mungkin friksi timbul karena hadirnya pihak ketiga yang sengaja “memecah”
jamaah.
2.
Problematika Eksternal Dakwah
Problematika eksternal dakwah yang
bisa menjadi bahaya besar bagi kebaikan bangsa dan masyarakat Indonesia,
khususnya umat Islam meliputi problematika spiritual dan kultural, problematika
moral, dan problematika sistemik.
Diantara
problematika dakwah di Indonesia yang menyangkut aspek spiritual dan kultural
adalah: berhala-berhala modern baik berupa teknologi yang dijadikan rujukan
kebanaran, sains yang diabsolutkan, materi yang ditaati, maupun kekuasaan yang
dipuja-puja; syirik, khurafat dan tahayul yang masih merebak di masyarakat;
globalisasi dan dialektika kultural; serta tradisi baik yang sudah tergerus dan
tergantikan dengan budaya negatif efek perkembangan peradaban.
Problematika moral diantaranya
adalah minuman keras dan penyahgunaan obat-obatan, penyelewenangan seksual,
perjudian dan penipuan, serta tindakan brutal dan kekerasan.
Sedangkan yang dimaksudkan dengan
problematika sistemik adalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), kemiskinan,
kebodohan, dan ancaman disintegrasi bangsa.
C.
Strategi Dakwah dalam Merespon
Problematika Umat.
Untuk
mengatasi berbagai persoalan umat yang begitu kompleks, institusi dakwah
tidak cukup
hanya dengan dengan melakukan program dakwah yang konvensional, sporadis, dan
reaktif, tetapi harus bersifat profesional, strategis, dan pro-aktif.
Menghadapi sasaran dakwah (madu) yang semakin kritis dan tantangan dunia global
yang makin kompleks dewasa ini, maka diperlukan strategi dakwah yang mantap,
sehingga aktivitas dakwah yang dilakukan dapat bersaing di tengah bursa
informasi yang semakin kompetitif.
Ada
beberapa rancangan dakwah yang dapat dilakukan untuk menjawab permasalahan
dewasa ini, yaitu:
1.
Memfokuskan aktivitas dakwah untuk
mengentaskan kemiskinan umat.
2.
Menyiapkan elit strategis Muslim untuk
disuplai ke berbagai jalur kepemimpinan bangsa sesuai dengan bidang keahliannya
masing-masing.
3.
Membuat peta sosial umat sebagai
informasi awal bagi pengembangan dakwah
4.
Mengintregasikan wawasan etika,
estetika, logika, dan budaya dalam berbagai perencanaan dakwah
5.
Mendirikan pusat-pusat studi dan
informasi umat secara lebih propesional dan berorientasi pada kemajuan iptek
6.
Menjadikan masjid sebagai pusat
kegiatan: ekonomi, kesehatan dan kebudayaan umat Islam. Karenanya, sistem
manajemen kemasjidan perlu ditingkatkan.
7.
Menjadikan sebagai pelopor yang
propertis, humanis, dan transpormatif.
Karenanya perlu dirumuskan
pendekatan-pendekatan dakwah yang progkresif dan inklusif. Dakwah Islam tidak
boleh hanya dijadikan sebagai objek dan alat legitimasi bagi pembangunan yang semata-mata
bersifat ekonomis-pragmatis berdasarkan kepentingan sesaat para penguasa.
Untuk merencanakan strategi dakwah yang mumpuni,
maka diperlukan pembenahan secara internal terhadap beberapa unsur yang
terlibat dalam proses
dakwah. Unsur-unsur tersebut adalah Da’i/juru dakwah (aktivis dakwah) materi dakwah, metode dakwah, dan alat atau media dakwah.
dakwah. Unsur-unsur tersebut adalah Da’i/juru dakwah (aktivis dakwah) materi dakwah, metode dakwah, dan alat atau media dakwah.
Pembenaran strategis
terhadap unsur tersebut dapat dilakukan melalui
Langkah-langkahsebagai
berikut:
1.
Peningkatan sumber daya
muballigh/Da’i (SDM)
Untuk
mencapai tujuan dakwah secara maksimal, maka perlu dukungan oleh para
juru dakwah yang
handal. Keandalan tersebut meliputi kualitas yang seharusnya dimiliki oleh
seorang juru dakwah yang sesuai dengan tujuan dewasa ini. Aktivitas dakwah dipandang
sebagai kegiatan yang diperlukan keahlian. Mengingat suatu keahlian memerlukan
penguasaan pengetahuan, maka para aktivis dakwah (Da’i/muballigh) harus memiliki
kualifikasi dan persyaratan akademik dan empirik dalam melaksanakan kewajiban
dakwah.
Di
era modern ini, juru dakwah perlu memiliki dua kompetensi dalam melaksanakan
dakwah, yaitu : kompetensi substantif dan kompetensi metodologis. Kompetensi
substantif meliputi penguasaan seorang juru dakwah terhadap ajaran-ajaran Islam
secara tepat dan benar. Kompetensi metodologis meliputi kemampuan juru dakwah dalam
mensosialisasikan ajara-ajaran Islam kepada sasaran dakwah (mad’u).
2.
Pemanfaatan Teknologi Modern
sebagai Media Dakwah
Salah satu sasaran yang
efektif untuk menyebarluaskan ajaran-ajaran Islam adalah alat-alat teknologi
modern di bidang informasi dan komunikasi. Kemajuan di bidang
informasi
dan telekomunikasi harus dimanfaatkan oleh aktivis dakwah sebagai media dalam
melakukan dakwah Islam, sebab dengan cara demikian ajaran agama Islam dapat diterima
dalam waktu yang relatif singkat oleh sasaran dakwah dalam skala luas.
Dalam
hal ini, lembaga-lembaga dakwah masih banyak yang belum dapat memanfaatkan
akses teknologi-informasi secara maksimal, begitu juga dengan
penyediaan
dakwah modern, misal TV. Hingga kini masih menjadi impian. Oleh karena itu,
lembaga dakwah perlu membangun sinergis antar kekuatan guna merealisasikannya dalam
rangka mengimbangi laju informasi dan meredam program-program TV yang
tidakmendidik dan cenderung merusak tatanan masyarakat.
3. Pengembangan
Metode Dakwah Fardhiyah.
Untuk
menjawab tantangan dunia global, maka perlu dikembangkan metode dakwah
fardhiyah, yaitu metode dakwah yang menjadikan pribadi dan keluarga sebagai sendi
utama dalam aktivitas dakwah. Dalam usaha membentuk masyarakat yang dicirikan oleh
Islam harus berawal dari pembinaan pribadi dan keluarga yang Islami, sebab lingkungan
keluarga merupakan elemen sosial yang amat strategis dan memberi corak paling
dominan bagi pengembangan masyarakat secara luas.
Pembinaan pribadi dan keluarga yang
Islami ini dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu: pertama, peningkatan fungsi orang tua (ibu dan bapak) sebagai
tauladan dalam rumah tangga; kedua,
perlunya dibentuk lembaga konsultan keluarga sakinah (KKS) dan klinik rohani
Islam (KRI) dalam setiap komunitas Muslim. Untuk pelaksanaan KKS dan KRI ini
diperlukan tenaga penyuluh dan counselor Islam yang handal baik secara teoritis
maupun secara praktis.
Di sinilah peran lembaga dakwah untuk
membina dan mendorong agar anggotanya mengembangkan dakwah fardiyah sehingga
masing-masing keluarga dapat terpantau dan terkendali, sekaligus menjadi
benteng kontrol sosial.
4. Penerapan
Dakwah Kultural
Dakwah kultural adalah dakwah Islam
dengan pendekatan kultural, yaitu: pertama, dakwah yang bersifat akomodatif
terhadap nilai budaya tertentu secara inovatif dan kreatif tanpa menghilangkan
aspek substansial keagamaan; kedua, menekankan pentingnya kearifan dalam
memahami kebudayaan komunitas tertentu sebagai sasaran dakwah. Jadi, dakwah
kultural adalah dakwah yang bersifat buttom-up dengan melakukan pemberdayaan
kehidupan beragama berdasarkan nilai-nilai spesifik yang dimiliki oleh sasaran
dakwah. Lawan dari dakwah kultural adalah
dakwan
struktural, yaitu dakwah yang menjadikan kekuasaan, birokrasi, kekuatan politik
sebagai alat untuk memperjuangkan Islam. Karenanya dakwah struktural lebih
bersifat top-down.
Secara sunnatullah, setiap komunitas
manusia, etnis, dan daerah memiliki kehasan dalam budaya. Masing-masing
memiliki corak tersendiri dan menjadi kebanggaan komunitas bersangkutan. Dalam
melakukan dakwah Islam corak budaya yang dimiliki oleh komunitas tertentu dapat
dijadikan sebagai media dakwah yang ampuh dengan mengambil nilai kebaikannya
dan menolak kemunkaran yang terkandung dalamnya.
Perbedaan penghayatan dan pengamalan
agama selalu dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti: karakteristik individu,
umur, lingkungan sosial, dan lingkungan alam.
Kelahiran mazhab dalam Islam pun turut
dipengaruhi oleh faktor alam dan geografis. Karena itu, akan selalu ada
perbedaan cara beragama antar orang desa dan kota, petani dengan nelayan,
masyarakat agraris dan masyarakat industri, dan sebagainya. Perbedaanperbedaan itu
perlu dimengerti oleh para aktivis dakwah supaya dakwah Islam yang dilakukan
dapat menyeseuaikan diri dengan kondisi objektif manusia yang dihadapi dan kecendrungan
dinamika kehidupan mutakhir.
Dalam melakukan dakwah kultural, para
aktivis dakwah harus menawarkan pemikiran dan aplikasi syari‟at Islam yang kaffah dan kreatif. Materi-materi
dakwah perlu disistematiskan dalam suatu rancangan sillabi dakwah berdasarkan
kecendrungan dan kebutuhan mad‟u.
Para aktivis dakwah tidak boleh langsung
„menghakimi‟ jama‟ah berdasarkan persepsinya sendiri, tanpa
mempertimbangkan apa sesungguhnya yang sedang mereka alami. Karena itu materi
dakwah kultural tidak semata-mata bersifat fiqh sentries, melainkan juga
materi-materi dakwah yang aktual dan bernilai praktis bagi kehidupan umat
dewasa ini. Kaedah formal ketentuan-ketentuan syari‟ah yang selama ini merupakan tema utama pengajian
dan khutbah harus diimbangi dengan uraian mengenai hakikat, substansi, dan
pesan moral yang terkandung dalam ketentuan syari‟ah
dan fiqh tersebut.
Seiring dengan pergeseran ini, maka
tema-tema dakwah pun yang muncul ke permukaan adalah masalah-masalah yang
menyangkut lingkungan hidup, polusi udara, perubahan iklim, pemanasan global,
etika bisnis dan kewiraswastaan dan, bio-teknologi dan cloning, HAM, demokrasi,
supremasi hukum, etika politik, kesenjangan social ekonomi dan pemerataan
hasil-hasil pembangunan, budaya dan teknologi informasi, gender, dan tema-tema
kontemporer lainnya.
Keharusan untuk medesain ulang tema-tema
dakwah ini merupaka tuntunan modernisasi spiritualitas Islam yang tidak dapat
ditawar-tawar lagi. Sebab, problema yang muncul di zaman modern jauh lebih
kompleks dan memerlukan respon yang lebih beragam dan akomodatif.8 Di sinilah
lembaga dakwah secara sistematis memberikan respon-proaktif bukan reaktif yang
sporadis. Sehingga dampaknya dapat dirasakan oleh umat secara konkrit.
5.
Monitoring dan Evaluasi Dakwah
Aktivis dakwah yang mencakup segi-segi
kehidupan yang amat luas hanya dapat berlangsung dengan efektif dan efesien
apabila sebelumnya telah dilakukan persiapan danperencanaan yang matang.9 Unutk
melakukan persiapan dan perencanaan yang matang, maka diperlukan monitoring dan
evaluasi dakwah. Dari monitoring dan evaluasi inilah dapat diperoleh imformasi
tentang permasalahan umat-umat yang selanjutnya dapat dijadikan sebagai bahan
masukan dalam melakukan persiapan dan perencanaan dakwah.
Pada aspek ini sering kurang mendapatkan
perhatian secara serius dan profesional oleh lembaga dakwah, sehingga banyak
program-program dakwah yang terkadang tanpa termonitoring dan terevaluasi
secara baik dan dibiarkan berjalan ala kadarnya.
Monitoring dan evaluasi dakwah ini
sangat diperlukan untuk mendapat informasi yang akurat mengenai tingkat
keberhasilan dakwah. Dalam evaluasi tersebut akan terlihat kelebihan dan
kekurangan dakwah yang telah dilaksanakan, tingkat relevasi paket-paket dakwah
yang ditawarkan dengan kebutuhan mad’u (sasaran dakwah), dan
sejauh
mana aktivitas dakwah yang telah dilakukan dapat mentransformasikan cita
ideal
Islam ke dalam realitas empirik umat.
6.
Membuat Pemetaan (Peta Dakwah)
Salah satu usaha untuk mengetahui materi
dan metode dakwah yang dibutuhkan oleh kelompok masyarakat tertentu adalah
melalui penyusunan peta dakwah. Peta dakwah adalah gambaran (deskriptif)
menyeluruh tentang berbagai komponen yang terlibat dalam proses dakwah.
Adapun komponen pokok yang akan dimuat
dalam peta dakwah ini, yaitu:10 pertama, komponen yang berkaitan dengan keadaan
umat Islam sebagai sasaran dakwah; kedua, komponen yang berkaitan dengan proses
yang berkiatan dengan pelaksanaan dakwah.
7.
Daya Tahan di Medan Dakwah
Dakwah yang merupakan jalan panjang
dan lintas generasi niscaya memerlukan daya tahan yang permanen. Bagi, individu
kader dakwah daya tahan ini jug harus dimiliki agar tetap istiqamah sampai
mengakhiri sejarah kehidupannya dengan husnul khatimah. Untuk itu, paling tidak
ada lima faktor yang perlu dimiliki para aktifis dakwah untuk merealisir daya
tahan di medan dakwah: menguatkan dan membersihkan motivasi, menggapai derajat
iman, menggandakan kesabaran, kekuatan ukhuwah, dan dukungan soliditas
struktur.
Untuk
menguatkan dan membersihkan motivasi kita perlu selalu memahami makna ikhlas dan
berupaya mencapainya dengan jalan: senantiasa memperbaharui
niat, berusaha keras menunaikan
kewajiban, berusaha keras mewujudkan kecintaan kepada Allah, merasakan
pengawasan Allah, dan hati-hati dalam beramal.
Untuk
mencapai derajat iman kita perlu : memiliki orientasi rabbani, yakni menjadikan
seluruh aktifitas selalu berorientasi kepada Allah, dan sebaliknya,
berhati-hati terhadap orientasi duniawi. Jika kita mampu mencapai derajat iman
ini, maka Allah menjanjikan kemenangan atas musuh, jaminan bahwa orang-orang
kafir takkan menguasai, mendapatkan izzah, mendapatkan kehidupan dan rezeki
yang baik, menjadi khalifah di muka bumi, serta mendapatkan surga di akhirat
nanti.
Untuk
bisa menggandakan kesabaran kita perlu memberikan dorongan jiwa untuk mengejar
dengan sungguh-sungguh faedah-faedah yang ditimbulkan oleh kesabaran, dan
betapa besar buahnya bagi agama dan keduniaan kita serta melawan pengaruh hawa
nafsu. Jika kesabaran telah kita miliki maka kita akan mendapatkan hikmahnya
yang luar biasa: dijadikan pemimpin, pahala yang besar, kebersamaan Allah, dan
mendapatkan berbagai macam kebaikan karena sabar.
Untuk
membangun ukhuwah kita perlu memotivasi diri dengan keteladanan ukhuwah di
zaman kenabian lalu memperbaiki hubungan sesama aktifis dakwah berlandaskan
cinta dan kasih sayang. Kita juga harus meminimalisir penghambat-penghambat
ukhuwah. Jika kekuatan ukhuwah ini terbangun kokoh, maka daya tahan kita
sebagai aktifis dakwah maupun daya tahan jamaah di medan dakwah akan semakin
kokoh.
Sedangkan
upaya membangun soliditas struktur paling tidak meliputi konsolidasi manajerial
dan konsolidasi operasional. Konsolidasi manajerial dilakukan dengan penataan
manajemen yang bagus dan profesional dalam setiap jalur dan lini. Selain
mengambil prinsip-prinsip dari Al-Qur'an dan Hadits, prinsip manajemen modern
juga bisa diterapkan. Konsolidasi operasional dimaksudkan untuk menyinkronkan
berbagai kegiatan dalam skala gerakan, sekaligus senantiasa mengarahkan gerak
dakwah kepada tujuan yang ditetapkan. Selain itu, untuk membangun soliditas
struktur perlu menghindari hal-hal
yang bisa merusaknya yaitu munculnya sekat komunikasi dan lemahnya imunitas
struktural (mana'ah tanzhimiyah).
8.
Yang Tegar di Jalan Dakwah
Jalan
dakwah ini pasti dipenuhi dengan beragam kesulitan, hambatan, rintangan,
tribulasi. Para aktifisnya akan berhadapan dengan beragam mihnah, sebagaimana
para dai generasi sebelumnya sejak Rasulullah dan para shahabatnya, tabi'in, tabiut
tabi'in, dan seterusnya.
Diantara
mihnah itu ada yang berupa ejekan, gelombang fitnah, teror fisik, manisnya
rayuan, tekanan keluarga, keterbatasan ekonomi, kemapanan, sampai kekuasaan.
Kader dakwah harus tegar dalam menghadapi semua mihnah itu.
Agar
tegar dalam menghadapi ejekan, sadarilah bahwa ejekan kepada Rasulullah jauh
lebih hebat; maka biarkan saja semua orang mengejek, tidak perlu diladeni. Agar
tegar dalam menghadapi fitnah, tetaplah bekerja dan beramal maka umat akan tahu
siapa yang benar dan siapa yang tukang fitnah. Agar tegar dalam menghadapi
teror fisik, tawakallah kepada Allah dan berdoalah senantiasa, di samping
persiapan lain yang juga perlu dilakukan oleh struktur dakwah. Agar tegar dalam
menghadapi manisnya rayuan, jagalah keikhlasan dan senantiasa memperbarui niat,
waspada dan tetap bersama jamaah. Agar tegar dalam menghadapi tekanan keluarga,
ketegasan harus diutamakan .
Iman
tidak bisa ditukar dengan keluarga, jika memang itu pilihannya. Agar tegar
dalam kondisi kekurangan/keterbatasan ekonomi, bersabar adalah kuncinya.
Kekuatan ukhuwah sesama aktifis dakwah juga berperan penting untuk menjaga kita
tetap tegar. Agar tegar dalam kemapanan harus memiliki paradigma semakin banyak
kekayaan, semakin banyak kontribusi bagi dakwah. Maka yang diteladani adalah
Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf. Agar tegar di puncak kekuasaan,
kelurusan orientasi perjuangan, ketaatan pada manhaj dakwah Rasulullah dan
keyakinan akan janji-jani-Nya. Dan pada semua mihnah, kedekatan dengan Allah
dan tawakkal kepada-Nya merupakan kunci utama agar tegar di jalan dakwah
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dinamisasi kehidupan
masyarakat sebagai sarana dakwah dewasa ini semakin kompeks dan menuntut
perlunya perubahan paradigma strategi dakwah Islam. Strategi dakwah Islam yang
diyakini dapat menjawab tantangan zaman tersebut, meliputi: peningkatan
sumberdaya da’i/muballigh (SDM), pemanfaatan teknologi modern sebagai media dakwah,
penerapan metode dakwah fardhiyah dan dakwah kultural, monitoring dan evaluasi
dakwah, serta penyusunan peta dakwah.
Tanpa strategi dakwah
Islam yang sistematis dan profesional, maka lembaga dakwah yang menghimpun
da’i-da’i yang bertugas mendakwahkan nilai-nilai Islam akan kehilangan andil
dalam membentuk masyarakat yang religius dan beradab.
B. Saran
Dalam
penyusunan makalah ini, masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan, untuk itu
penulis sangat mengharapkan partisipasi rekan-rekan atau pembaca berupa saran
dan kritik yang bersifat membangun demi penyempurnaan penyusunan makalah dimasa
akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi,
Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, Jakarta:
Paramadina,
1999.
Eldin, Achyar, Dakwah
Stratejik, Jakarta: Pustaka Tarbiyatuna, 2003.
Harahap,
Syahrin, Islam: Konsep dan Implementasi Pemberdayaan, Yogyakarta:
Tiara
Wacana, 1999.
Kontowijoyo, Dinamika
Sejarah Umat Islam Indonesia, Yogyakarta: Salahudin Press,
1985.
Masyari, Anwar, Butir-Butir
Problematika Dakwah Islamiyah, Surabaya: Bina Ilmu, 1992.
Era Adicitra Intermedia, Tegar di Jalan Dakwah Solo Tahun
Terbit : November 2009
Muhyidin, Asep, Dakwah
dalam Perspektif al-Qur’an: Studi Kritis atas Visi, Misi dan
Wawasan,
Bandung:
Pustaka Setia, 2002.
Mulkhan, Abdul
Munir, Ideologi Gerakan Dakwah: Episode Kehidupan M. Natsir dan
Azhar
Basyir, Yogyakarta: Sipress, 1996.
Noer, Mohammad,
“Dakwah untuk Umat,” Makalah dalam Workshop Program Studi Sejenis
Ditjen
Pendidikan Islam Depag RI, 2007.
Suparta, Munzier
dan Harjani (Ed.), Metode Dakwah, Jakarta: Rahmat Semesta, 2003.
10 Mohammad Noer, Op.
Cit., hlm. 7.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar